
Pada masa jelang Belanda menetapkan status lockdown, banyak pemberitaan muncul di media tentang warga negeri kincir angin ini memborong ganja. Dampak dari pemberitaan tersebut memunculkan hoax di media sosial tentang ganja sebagai salah satu obat untuk mencegah atau mengobati penyakit yang disebabkan virus corona.
Hasil riset menunjukkan, ganja mengandung tetrahidrokanabinol dan kanabidiol. Kandungan ini berpotensi menyebabkan penggunanya mengalami euforia. Jika digunakan langsung, maka efek ganja terhadap penyakit yang disebabkan virus corona tidak terbukti. Satu-satunya peluang ganja digunakan sebagai obat corona adalah jika telah terbukti secara klinis melalui penelitian dan uji pengobatan.
Sebagaimana diketahui, ganja juga digunakan untuk kepentingan medis dibawah pengawasan dan penelitian yang ketat. Beberapa obat hasil turunan dari tanaman yang hanya bisa tumbuh di daerah tropis dengan ketinggian diatas 1000 meter dpl ini antara lain Marinol dan Cesemet untuk HIV/AIDS, Epidiolex untuk penderita epilepsy, Sativex untuk kanker payudara. Meski demikian, obat tersebut diedarkan sangat ketat untuk mencegah penyalahgunaan.
Tanaman jenis cannabis sativa ini total memiliki 100 bahan kimia berbeda yang kerap disebut cannabinoid. Masing-masing bahan kimia tersebut memiliki efek yang berbeda pada tubuh. Delta-9-tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabidol (CBD) dalam kepentingan medis digunakan untuk pengobatan. THC ini juga senyawa yang memiliki efek memabukkan dan menimbulkan euforia.
Penggunaan obat dari bahan ganja tidak serta merta bereaksi langsung. Sejumlah efek samping juga ditemukan setelah mengkonsumsi obat tersebut. Diantara efek yang dialami adalah mata merah, depresi, pusing, detak jantung meningkat, halusinasi dan tekanan darah rendah. Efek lainnya, kandungan THC yang tinggi pada ganja juga dapat menyebabkan ketergantungan. The National Institute on Drug Abuse merilis, penggunaan obat-obatan berbahan ganja dapat membuat penggunanya ketagihan dan meningkatkan keinginan untuk menggunakan obat-obat lainnya.
Delta-9 tetrahydrocannabinol atau THC bekerja pada reseptor kanabinoid pada sel-sel saraf dan mempengaruhi aktivitas sel-sel tersebut. Beberapa area otak memiliki reseptor cannabinoid, tetapi area otak lainnya hanya memiliki sedikit dan beberapa titik lain tidak memilikinya. Reseptor ini biasanya terdapat pada bagian otang yang memicu rasa senang, daya ingat, pikiran, konsentrasi, persepsi indra dan koordinasi gerakan. Disini dapat dilihat bahwa ganja dapat member pengaruh terhadap halusinasi, delusi dan rusaknya daya ingat. Terjadi disorientasi (linglung) dapat disebabkan reseptor kanabinoid berkerja terlalu aktif.
Efek halusinasi, delusi dan depresi inilah yang barangkali menjadi alasan seseorang mengkonsumsi ganja dan diklaim menjadi obat corona. Ketakutan terhadap pandemic ini menyebabkan mereka ingin menghilangkannya melalui efek memabukkan. Dengan efek itu, mereka mencoba menutup rasa takut dan khawatir terpapar corona.
Padahal jika dilihat lebih lanjut, efek yang ditimbulkan dari ganja sangat berbahaya. Covid-19 menyerang pada sistem pernafasan dengan gejala pneumonia. Ganja jika dikonsumsi dapat memicu gangguan pernafasan lebih parah. Efek konsumsi dengan penghisapan dapat menyebabkan batuk berkepanjangan, peningkatan produksi dahak, penyakit dada akut serta resiko infeksi paru-paru.
Covid-19 dan ganja jika bertemu bersama pada saluran pernafasan manusia maka justru akan menyebabkan gangguan ganda. Gangguan akibat konsumsi ganja dan serangan penyakit yang disebabkan virus corona.
Dari beberapa penelitian, kandungan tar pada ganja hampir tiga kali lipat lebih tinggi dari tar yang diproduksi oleh tembakau. Asap ganja juga diduga memiliki kandungan zat penyebab kanker 70 persen lebih banyak dari asap rokok tembakau. Dengan demikian, resiko terjadinya kanker paru-paru lebih tinggi apabila mengkonsumsi ganja. Hal ini akan lebih diperparah lagi apabila virus corona berhasil masuk dalam saluran pernafasan.
Tentang senyawa cannabidiol (CBD) yang diklaim mampu melemahkan virus corona juga belum terbukti nyata. Senyawa cannabidiol yang terdapat pada ganja diklaim mampu menjadi alternative untuk mengobati pasien terinfeksi virus corona baru SAR-Cov-2. Klaim ini bahkan mencatut hasil riset dari University of Southern Denmark yang memang diketahui giat melakukan riset senyawa dalam ganja, khususnya kandungan senyawa CBD. Padahal, para peneliti dari lembaga ini hanya mengulas soal cannabidiol dan efeknya terhadap bakteri, bukan efek terhadap virus. CBD jika ditambahkan antibotik akan memiliki efek lebih dalam melawan bakteri.
Kandungan Tetrahydrocannabinol (THC) dan senyawa lain pada ganja justru memiliki potensi untuk menurunkan imunitas tubuh. Tentu dengan menurunnya imunitas tubuh itu pula akan semakin memperlebar pintu masuk virus corona dan rumah nyaman untuk virus ini berkembang biak. Pembiakan yang aktif tanpa perlawanan sistem antibody akan meningkatkan potensi kematian.
Jadi, jangan mudah terpengaruh dengan wacana bahwa ganja merupakan obat dari corona. Jangan bermain spekulasi. Selain berbahaya bagi kesehatan, juga melanggar perundang-undangan dengan konsekuensi hukuman penjara yang tidak sebentar.
Penulis : Arlinda Fety Roviana ( penyuluh narkoba ahli pertama, Seksi P2M BNN Kabupaten Temanggung)